Kamis, 27 Juni 2013

Kesepian






Note book dan ball point.
Kaca mata baca dan segelas air putih yang siap kuteguk saat ku terbangun dari mimpi-mimpi buruk.
Dan sebuah novel yang sedang ku baca.
Itulah pernak pernik yang setia ada di atas meja jati di samping tempat tidurku.

Selimut dingin. Bantal guling.
Tempat tidur kayu yang berderit menjerit.
Kala ku terbaring dan membalikkan badan.
Uh !, sayang kau tak ada disini.

Siaran Televisi yang terus menyala.
Temani malam-malam sepiku.
Aku tak ingat lagi, apa aku sedang menonton Televisi.
Atau aku yang ditonton?

Mengisi hari-hari dengan membaca sebuah roman.
Lalu kucatat kata-kata romantis yang terdapat di novel itu.
Sudah berbuku-buku catatan.
Hah, entah akan ku kirim kemana dan untuk siapa?

Di rumah peninggalan ibu ini, aku tinggal sendiri.
Tak ada yang menemani hari-hari senjaku.
Apa yang harus ku sesali?
Mungkin sampai akhir hayat, Tuhan tidak memberi ku jodoh.

Bapak yang raib entah kemana? Meninggalkan tanggung jawab yang harus ibu pikul sendiri.
Mengambil pekerjaan sebagai buruh cuci untuk bisa menghidupi kami semua.
Sebagai anak pertama, sudah kewajibanku ikut memikul tanggung jawab meringankan beban ibu.
Ku putuskan untuk berhenti sekolah. Lalu bekerja di sebuah pabrik rokok. Awalnya ibu berkeberatan. Tapi, apa mau dikata, memang sudah seperti itu garis hidup yang harus ku jalani.

Melinting, menggulung tembakau lalu membungkusnya dengan paper hingga menjadi sebatang rokok.
Batang demi batang rokok, kami susun dan letakkan diatas roda ban berjalan kemudian dengan bantuan mesin di pak menjadi sebungkus rokok yang siap untuk dipasarkan.
Pekerja anak-anak katanya ilegal. Apakah aku harus tercebur ke dunia prostitusi? Aku masih punya pikiran waras. Dan sedikit rasa takut dosa kepada Tuhan. Selama aku dan pabrik saling membutuhkan dan menguntungkan, pekerja anak-anak akan terus berlangsung.
Aku membutuhkan pekerjaan. Dan pabrik pun beruntung bisa menggaji ku dengan upah dibawah standar. Mutualisme itu pun seolah menjadi syah dan masuk akal.

Walau gaji sedikit, lumayan bisa membantu biaya adik-adikku sekolah.
Dengan tekad bulat ku tekuni pekerjaan ini. Tak ada lagi waktu untuk bermain-main seperti teman-teman sebayaku. Dalam hidupku cuma ada kerja dan kerja.
Hingga sampai setua ini, aku tak mengenal rasanya mencinta dan di cinta oleh seorang laki-laki.
Alhamdulillah, pengorbananku tak sia-sia. Lambat laun karirku menanjak hingga dipercaya menjadi seorang manager.

Dari dulu sudah ku tekankan pada adik-adikku untuk tetap terus bersekolah dan melanjutkan hingga ke bangku kuliah.
Demi masa depan mereka sendiri, agar mereka tidak bernasib sepertiku. Bekerja menjadi seorang buruh tanpa pendidikan dan keahlian yang memadai.
Aku ingin, mereka dihargai. Tidak sepertiku yang hanya bisa bersandar pada nasib baik saja.
Biar aku saja yang menjadi lilin dikeluargaku.

Seperti malam-malam sebelumnya.
Aku tidur sendiri.
Kemana dia yang biasa tidur disampingku?
Apakah dia telah bosan juga tinggal bersamaku?

“Miaauw … miauw!” Suara seekor kucing siam masuk kedalam kamar. “Aih, kemana saja kau seharian ini?”
“Miaauw … miauw!” Kucing itu bermanja-manja dibetisku.
“Bagaimana? Sudah kau temukan kucing yang kau sayangi?” Tanyaku sambil mengelus-elus kepalanya.
Kucing itu hanya menjawab, “miiiaauw… miauuw.” Hihihi… sama-sama kesepian, tak ada bedanya aku dengan mu, Miaauw.


*********

Ilustrasi Gambar : www.ciker.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar