Jumat, 26 Juli 2013

Buku Kumpulan Puisi Karya : SERPIHAN ABAD


INFO BUKU TERBARU
Meta Kata, Juli 2013

Judul: KARENA AKU PEREMPUAN
Penulis: Serpihan Abad
Penyunting: @Avet89
Pewajah Sampul: de A creative
Penata Letak Isi: de A creative
ISBN 978-602-14249-1-9

HARGA
Asli: Rp 35.000
Promo: Rp 30.000 (berlaku selama bulan Ramadan)

PEMESANAN
SMS ke "081907820606" dengan format "KAP-Nama-Alamat-Jumlah Pemesanan"

TESTIMONI

Membaca buku puisi ini, serasa ikut berkelana menyusuri kehidupan nyata. Mencari makna cinta yang sebenarnya dalam ragam liku peliknya cinta. Judul “Karena Aku Perempuan”, benar-benar mewakili rasa yang tersembunyi dan kadang hanya terpendam di sudut hati seorang perempuan. Selamat atas terbitnya buku puisi ini.

ASIH RANGKAT 
Wakil Kepala Desa Rangkat, Sebuah Komunitas Menulis di Kompasiana

Membaca karya S.A. seperti dihadapkan pada kenyataan bahwa benar pada hakekatnya wanita adalah makhluk yang lemah, cuma jeda, hanya sebuah koma sebelum titik. Namun di sisi lain ada suara-suara yang meneriakkan bahwa wanita juga sesosok pribadi yang kuat. Tangguh. Bermartabat. Bukan semata objek atau hiasan di atas kepala. Wanita punya suara yang juga harus didengar oleh sekelilingnya. 
Dalam hal ini S.A. berhasil menyuarakan jerit hati wanita lewat bait puisinya yang apik. Kekuatan puisi S.A. justru terletak pada pemilihan katanya yang sederhana namun mengena. Satire yang kaya rasa. Sehingga pada akhirnya setiap kita dapat memahami bahwa esensi seorang wanita bukan hanya “seonggok daging bergelambir yang tersaji nikmat di atas ranjang’” belaka, melainkan mewakili sesosok raga berjiwa yang juga memiliki hak untuk bersuara. Sebab tanpa wanita, seorang pria bukanlah siapa-siapa.

LEILLA CLAUDYA 
Blogger, Educator, And Librarian

Kumpulan puisi ini, membawa kita pada kedalaman makna, mengajak rasa menyelami pada romansa dan keseharian yang penuh kejutan. 

KEN HANGGARA 
Penulis Buku “Dermaga Batu” Dan “Jalan Setapak Aisyah”

Ya, cinta adalah kematian sekaligus kehidupan.
Kematiannya seperti para pemabuk yang tidak sadarkan diri, berjalan dalam sunyi malam, mengigau di lorong-lorong kota, menjeritkan ketidaktahuan dan kegelisahan. 
Sedang hidupnya cinta seperti jiwa yang berpijar, laksana suluh yang membangunkan tidur yang beku karena waktu senantiasa melelapkan lembah-lembah, dialah pijar yang membidik titik kebangkitan bagi kehidupan yang telah diselubungi aroma kematian di kalbunya. 
“Bagaimanakah cinta bisa menghidupkanmu? Bila engkau terperangkap dalam kematian naluri karena terpedaya nafsu, bukankah engkau seperti budak-budak cinta yang sedang mabuk di jalan yang tidak menyadari ujungnya?“ 
Dan jika ia mengatakan, “cintamu hanya mimpi semu.” Maka jawablah, “semu hanya dunia, dan raga yang fana. Kita tidak mencintainya. Yang kita kasihi adalah jiwa yang kita miliki. Karena itulah yang abadi. Maka kita memburu cinta di antara jiwa-jiwa yang rindu.“
Seharusnya ada kepahaman yang terbentang jika cinta telah menyentuh jiwa. Agar kesunyian seperti dalam jiwaku ini hanyalah pergulatanku mencari kebenaranmu. Dan agar bumi tidak menjadi tempat budak-budak cinta yang mabuk dan tidak mengerti, bahwa cinta adalah semua kehidupan dan harapan. Bukannya keindahan yang harus dimiliki. Agar cinta tidak menjadi lembah dosa dan putus asa, dan menjadi tempat untuk menangisi yang fana.
Aku mengenali kecintaan dalam jiwaku dengan jiwamu. Ketika engkau berkata, “ruhku dimiliki cinta, karena cinta adalah kehidupan segalanya.”

VENUS 
Aktif Menulis Puisi di Kompasiana

Adalah sesuatu yang sangat berharga ketika saya bisa mengenal sosok S.A., semua pemikiran dan pandangan hidupnya membuat saya kagum. Cerita yang keluar dari mulutnya bagaikan air mengalir, saya dengar dengan kekaguman yang sulit dijelaskan.
Semua puisi dan tulisannya, mengandung arti. Ada kepedihan dan pengharapan yang dalam. Sebuah perjalanan hidup yang penuh warna, lika-likunya membuat saya tercengang. Hal itulah yang menyemangati saya “memaksa” S.A. untuk dijadikan sebuah buku Kumpulan Puisi. Agar tidak hanya bisa dinikmati oleh penulisnya saja tapi dapat juga dinikmati oleh para pembaca. 1 buku yang akan mengantarkan S.A. pada cita-cita masa kecilnya sebagai penulis, Saya bangga bisa menjembatani itu.

BUNDA RAFI
My Management, Creative Writing

Membaca karya-karya Serpihan Abad, seperti “Rindu Yang Rapuh” atau “Engkaukah Sungaiku?”, membuatku terkucil dalam satu dimensi realitas cinta yang tak terbatas oleh sekat keindahan, tapi juga nestapa, lara, dan koyak luka. Namun, Serpihan Abad tak hanya pandai meneriakkan cinta biru. Beberapa karyanya juga berbau pop. Baca saja “Di Secangkir Teh Tarikmu”.
Cinta, digambarkan secara kompleks dalam setiap karyanya. Terlihat sekali Serpihan Abad telah mengalami proses pendewasaan dalam olah rasa dan menuangkan secara bijak dalam baris demi baris kata sehingga mengajak pembacanya untuk memahami tanpa mengalami kebuntuan dalam penafsiran. Ini yang sekiranya penting dalam menciptakan syair.
Sederhana dan menarik! Baca: “Air Api”, “Album”, “Sinetron”. Tapi sungguh, setiap pecinta karya seni, tahu bahwa di balik kesederhanaan yang terhidang, terdapat sebuah proses rumit yang membutuhkan masa-masa pendadaran yang panjang.
Anda tak akan pernah kecewa dalam melahap rangkaian alfabet yang disusun secara cermat oleh Serpihan Abad. Tak hanya indah dan abstrak, namun juga tak terlupakan.

LEIL FATAYA
Penggiat Fiksi Pendek Dan Puisi


Untuk Pemesanan bukunya : 

Transfer ke: 
BRI a.n. Christiana Hasti Prasanti
No.Rek. 3126-01-005489-50-5
Kacab. Blimbing Malang

Minggu, 14 Juli 2013

Rindu Yang Rapuh





Aku baca setiap huruf
Pada kata yang dibentuk masa lalu
Menjadi sebuah kalimah azimat

Kau pergi bersama muai embun
Saat kutuang gairah
Dan sang surya pun tak beranak pinak cahaya

Siluet sephia-mu sembunyikan rasa
Kata sakral yang beranjak pudar
Dalam bingkai kenangan hitam putih

Aku istirah di atas bara lara, karena aku cuma jeda
Sebuah koma sebelum titik
Sehela napas sebelum hembusan napas terakhirmu

Pada setiap titik koma
Pada do’a cinta melara
Seluruh haru meluruh di tepi rindu yang rapuh

Rindu yang bersetubuh dalam gemuruh


*********

Jumat, 05 Juli 2013

Harmonis



Air mengawini bumi adalah rasa
Bumi menikmati dan larut adalah cinta
Saling berkumpul, bergumul dan menyatu tapi tidak mengubah, adalah kasih

Air mengawini bumi dengan sadar dan suka rela adalah adil
Bumi menerima dengan suka cita adalah kekayaan
Air dan bumi saling menerima dan rela adalah kemakmuran

Air mengawini bumi
Dan bumi menikmati
Tidak saling menenggelamkan adalah harmonis


*********


Ilustrasi Gambar : fineartamerica.com

Senin, 01 Juli 2013

Novel yang Membosankan





Pada sebuah novel yang tak pernah selesai kubaca
Ada koma sebelum titik

Aku cuma jedamu

Tak pernah kau beri titik pada setiap akhir kalimat-kalimatmu
Tanda tanya yang harusnya kau jawab, malah kau balik bertanya
Terkadang cuma kata: hmm … yang keluar dari bibir tipismu
Seolah kau sedang berpikir keras
Entah apa yang kau pikirkan?

Bukankah setiap konflik dalam novel itu harus jelas asal usulnya?
Dan harus ada penyelesaian?
Jika tidak, struktur cerita yang kau bangun runtuh karena tidak tahu hendak kau bawa ke mana ceritanya
Akhir cerita pada novel ini pun semakin tak jelas
Di pertengahan baca, kututup novel ini

Huh! Karena kau hanyalah sebuah novel yang membosankan!


*********

Ilustrasi Gambar : www.guardian.co.uk

Minggu, 30 Juni 2013

Satu Kisah Cinta



Di sudut mana aku ada?
Di segi tiga hati?
Di lingkar perih? Di luas sepi?
Atau Di dimensi tak bertepi?

Aku hanya kelana asing di lingkar peta hidupmu.
Terdampar  di cinta antah berantah.
Hendak kemana? jika semua jalan yang lalu tumbuh menjadi luruh dan tertunduk dijiwa.
Engkau melukai atau membahagiakanku.
Tak bisa lagi terasa.
Semua pergantian suasana ini hanyalah latihan pendewasaan jiwa.
Bukankah sebagai wanita, aku berharap memiliki satu kisah cinta yang ku impikan  sepanjang hidupku?
Satu kisah saja sebelum aku dipanggil.


**********

Ilustrasi Gambar dari link : art illusion.com

Kamis, 27 Juni 2013

Kesepian






Note book dan ball point.
Kaca mata baca dan segelas air putih yang siap kuteguk saat ku terbangun dari mimpi-mimpi buruk.
Dan sebuah novel yang sedang ku baca.
Itulah pernak pernik yang setia ada di atas meja jati di samping tempat tidurku.

Selimut dingin. Bantal guling.
Tempat tidur kayu yang berderit menjerit.
Kala ku terbaring dan membalikkan badan.
Uh !, sayang kau tak ada disini.

Siaran Televisi yang terus menyala.
Temani malam-malam sepiku.
Aku tak ingat lagi, apa aku sedang menonton Televisi.
Atau aku yang ditonton?

Mengisi hari-hari dengan membaca sebuah roman.
Lalu kucatat kata-kata romantis yang terdapat di novel itu.
Sudah berbuku-buku catatan.
Hah, entah akan ku kirim kemana dan untuk siapa?

Di rumah peninggalan ibu ini, aku tinggal sendiri.
Tak ada yang menemani hari-hari senjaku.
Apa yang harus ku sesali?
Mungkin sampai akhir hayat, Tuhan tidak memberi ku jodoh.

Bapak yang raib entah kemana? Meninggalkan tanggung jawab yang harus ibu pikul sendiri.
Mengambil pekerjaan sebagai buruh cuci untuk bisa menghidupi kami semua.
Sebagai anak pertama, sudah kewajibanku ikut memikul tanggung jawab meringankan beban ibu.
Ku putuskan untuk berhenti sekolah. Lalu bekerja di sebuah pabrik rokok. Awalnya ibu berkeberatan. Tapi, apa mau dikata, memang sudah seperti itu garis hidup yang harus ku jalani.

Melinting, menggulung tembakau lalu membungkusnya dengan paper hingga menjadi sebatang rokok.
Batang demi batang rokok, kami susun dan letakkan diatas roda ban berjalan kemudian dengan bantuan mesin di pak menjadi sebungkus rokok yang siap untuk dipasarkan.
Pekerja anak-anak katanya ilegal. Apakah aku harus tercebur ke dunia prostitusi? Aku masih punya pikiran waras. Dan sedikit rasa takut dosa kepada Tuhan. Selama aku dan pabrik saling membutuhkan dan menguntungkan, pekerja anak-anak akan terus berlangsung.
Aku membutuhkan pekerjaan. Dan pabrik pun beruntung bisa menggaji ku dengan upah dibawah standar. Mutualisme itu pun seolah menjadi syah dan masuk akal.

Walau gaji sedikit, lumayan bisa membantu biaya adik-adikku sekolah.
Dengan tekad bulat ku tekuni pekerjaan ini. Tak ada lagi waktu untuk bermain-main seperti teman-teman sebayaku. Dalam hidupku cuma ada kerja dan kerja.
Hingga sampai setua ini, aku tak mengenal rasanya mencinta dan di cinta oleh seorang laki-laki.
Alhamdulillah, pengorbananku tak sia-sia. Lambat laun karirku menanjak hingga dipercaya menjadi seorang manager.

Dari dulu sudah ku tekankan pada adik-adikku untuk tetap terus bersekolah dan melanjutkan hingga ke bangku kuliah.
Demi masa depan mereka sendiri, agar mereka tidak bernasib sepertiku. Bekerja menjadi seorang buruh tanpa pendidikan dan keahlian yang memadai.
Aku ingin, mereka dihargai. Tidak sepertiku yang hanya bisa bersandar pada nasib baik saja.
Biar aku saja yang menjadi lilin dikeluargaku.

Seperti malam-malam sebelumnya.
Aku tidur sendiri.
Kemana dia yang biasa tidur disampingku?
Apakah dia telah bosan juga tinggal bersamaku?

“Miaauw … miauw!” Suara seekor kucing siam masuk kedalam kamar. “Aih, kemana saja kau seharian ini?”
“Miaauw … miauw!” Kucing itu bermanja-manja dibetisku.
“Bagaimana? Sudah kau temukan kucing yang kau sayangi?” Tanyaku sambil mengelus-elus kepalanya.
Kucing itu hanya menjawab, “miiiaauw… miauuw.” Hihihi… sama-sama kesepian, tak ada bedanya aku dengan mu, Miaauw.


*********

Ilustrasi Gambar : www.ciker.com