( 1 )
Ditepi mata air air mata.
Diresap gerimis Januari.
Digigil cinta berpeluk dingin.
Renungi ...
Lalu ku tulis – sampai kini pun tak kutemukan alasan, untuk apa ku tulis?
Bukankah semua kisah cinta itu sama
saja?
Apa beda foto dan klise nya?
Jika hati yang melihat.
Aku hanya ingin hutan dan pegunungan
ini membaca.
Pepohonan perdu yang menghijau di tepi
sungai terharu mendengar.
Kepodang dan kenari kicaukan senduku.
Angin yang berhembus dari deretan
pegunungan menuju lembah, menyusuri dataran-dataran yang lebih rendah hingga ke
tepi sungai tempatku duduk mematung, igau-ku masih sayup terdengar menelusup
lembut ke kedalaman sungai.
Berharap engkaulah sungaiku.
**********
( 2 )
Masa lalu.
Tangis dan segala yang
meledak-ledakkan rasa.
Ingin ku lemparkan saja ke arus
sungai.
Agar putaran dan derasnya kan
hanyutkan - entah kemana?
Dihantam bebatuan hingga tinggal
serpihan kehampaan.
Tapi ...
Ku selami juga sampai ke dasar.
Tak ku temukan kedalamanmu.
Engkau kah sungaiku ?
Atau cuma riak kecipak di tiap jeram
dan kelokkan kehidupan.
Terus dan terus ku hanyut juga - entah kemana, ku pasrah.
Ke lautmu?
Ke debur ombak gelombang yang
bergulung-gulung?
Atau akhirnya ku terdampar di sebuah
comberan.
Masih juga ku bertanya.
Engkau kah comberanku?
**********
( 3 )
Bukan karena ku dikelilingi hujan.
Dan gemericik air yang nyanyikan lagu-lagu kematian.
“Rasa” walau sudah ku kubur dalam serpihan abad,
eureka! percikan-percikan ide itu terus saja berlompatan saat bersama atau
berpisah denganmu.
Geliat kata yang bergerak acak.
Ku mulai dengan memilih kata yang ingin ku tempa.
Layaknya ku cipta sebuah maha karya.
Kata yang telah ku tempa, ku rangkai menjadi sebuah
kalimat.
Ku rangkum aroma rindu yang mengental.
Tentang cinta yang telah lelah seharian bermain-main
dan atau dipermainkan alam semesta.
Sekecil apapun kejadian diantara kita adalah sebuah
keajaiban.
Kau bilang, “ah itu cuma fiksi!”
Memang akulah fiksi itu.
Karena ia telah meresap menembus kedalam pori-pori
misteriku.
Aku hanya ingin tumbuh tertunduk di jiwa lalu luruh.
Dan menemukan diriku bukanlah siapa-siapa.
Aku- tak sengaja di tetaskan embun di ujung-ujung daun.
Sepenggalan matahari naik, aku kan muai lalu musnah.
Tanpa catatan sejarah.
Menguap dilautan sarwa purba.
Ada.
Dan atau tiada.
Ke niscayaan kah?.
*********
Engkaukah sungaiku? – S.A.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar