Note
book dan ball point.
Kaca
mata baca dan segelas air putih yang siap kuteguk saat ku terbangun dari
mimpi-mimpi buruk.
Dan
sebuah novel yang sedang ku baca.
Itulah
pernak pernik yang setia ada di atas meja jati di samping tempat tidurku.
Selimut
dingin. Bantal guling.
Tempat
tidur kayu yang berderit menjerit.
Kala
ku terbaring dan membalikkan badan.
Uh
!, sayang kau tak ada disini.
Siaran
Televisi yang terus menyala.
Temani
malam-malam sepiku.
Aku
tak ingat lagi, apa aku sedang menonton Televisi.
Atau
aku yang ditonton?
Mengisi
hari-hari dengan membaca sebuah roman.
Lalu
kucatat kata-kata romantis yang terdapat di novel itu.
Sudah
berbuku-buku catatan.
Hah,
entah akan ku kirim kemana dan untuk siapa?
Di
rumah peninggalan ibu ini, aku tinggal sendiri.
Tak
ada yang menemani hari-hari senjaku.
Apa
yang harus ku sesali?
Mungkin
sampai akhir hayat, Tuhan tidak memberi ku jodoh.
Bapak
yang raib entah kemana? Meninggalkan tanggung jawab yang harus ibu pikul
sendiri.
Mengambil
pekerjaan sebagai buruh cuci untuk bisa menghidupi kami semua.
Sebagai
anak pertama, sudah kewajibanku ikut memikul tanggung jawab meringankan beban
ibu.
Ku
putuskan untuk berhenti sekolah. Lalu bekerja di sebuah pabrik rokok. Awalnya
ibu berkeberatan. Tapi, apa mau dikata, memang sudah seperti itu garis hidup
yang harus ku jalani.
Melinting,
menggulung tembakau lalu membungkusnya dengan paper hingga menjadi sebatang rokok.
Batang
demi batang rokok, kami susun dan letakkan diatas roda ban berjalan kemudian
dengan bantuan mesin di pak menjadi sebungkus rokok yang siap untuk dipasarkan.
Pekerja
anak-anak katanya ilegal. Apakah aku
harus tercebur ke dunia prostitusi?
Aku masih punya pikiran waras. Dan sedikit rasa takut dosa kepada Tuhan. Selama
aku dan pabrik saling membutuhkan dan menguntungkan, pekerja anak-anak akan
terus berlangsung.
Aku
membutuhkan pekerjaan. Dan pabrik pun beruntung bisa menggaji ku dengan upah
dibawah standar. Mutualisme itu pun
seolah menjadi syah dan masuk akal.
Walau
gaji sedikit, lumayan bisa membantu biaya adik-adikku sekolah.
Dengan
tekad bulat ku tekuni pekerjaan ini. Tak ada lagi waktu untuk bermain-main
seperti teman-teman sebayaku. Dalam hidupku cuma ada kerja dan kerja.
Hingga
sampai setua ini, aku tak mengenal rasanya mencinta dan di cinta oleh seorang
laki-laki.
Alhamdulillah,
pengorbananku tak sia-sia. Lambat laun karirku menanjak hingga dipercaya
menjadi seorang manager.
Dari
dulu sudah ku tekankan pada adik-adikku untuk tetap terus bersekolah dan
melanjutkan hingga ke bangku kuliah.
Demi
masa depan mereka sendiri, agar mereka tidak bernasib sepertiku. Bekerja
menjadi seorang buruh tanpa pendidikan dan keahlian yang memadai.
Aku
ingin, mereka dihargai. Tidak sepertiku yang hanya bisa bersandar pada nasib
baik saja.
Biar
aku saja yang menjadi lilin dikeluargaku.
Seperti
malam-malam sebelumnya.
Aku
tidur sendiri.
Kemana
dia yang biasa tidur disampingku?
Apakah
dia telah bosan juga tinggal bersamaku?
“Miaauw
… miauw!” Suara seekor kucing siam masuk kedalam kamar. “Aih, kemana saja kau
seharian ini?”
“Miaauw
… miauw!” Kucing itu bermanja-manja dibetisku.
“Bagaimana?
Sudah kau temukan kucing yang kau sayangi?” Tanyaku sambil mengelus-elus
kepalanya.
Kucing
itu hanya menjawab, “miiiaauw… miauuw.” Hihihi… sama-sama kesepian, tak ada
bedanya aku dengan mu, Miaauw.
*********
Ilustrasi Gambar : www.ciker.com