Rambut sebahu diikat bandana
Tubuh ringkih melawan angin menahan
dingin
Aku ditegur
basa-basi, “apa yang kau cari?”
Tak peduli,
aku terus mendaki
Sesekali lelah, tetap tak menyerah
Ditemani gerimis
Senyum tipis bertambah manis
Sepi sendiri di puncak Pangrango
“Aku? Apa
yang kucari?” si
senyum tipis malah balik bertanya
“Hahaha...,”
tawa
renyahku memecah hening
“Aku tidak tahu! Mungkin sekadar ikuti kata hati,” jawabku
juga basi
“Dan kau pendaki, apa pula yang kau
cari di sini?”
“Sama! Aku pun tidak tahu!” jawabnya acuh
“Apakah kau sedang mengejar mimpi,
pendaki?”
“Hah, pandanglah! Apakah aku terlihat sedang mengejar mimpi?” matanya mendelik kesal
Si senyum tipis memandang bulan
separuh
Dan yang separuh lagi habis ditelan
kawah putih
“Hei pendaki, alangkah indahnya
ciptaan Tuhan ini.”
Begitu cara si senyum tipis alihkan
kata
Senyum tipisnya pun ciptaan Tuhan yang
maha indah, apakah dia tidak menyadari?
Cahaya bulan bercermin di diamnya
Aku dan si senyum tipis tak ada sepatah
kata
Nikmati alam semesta, atau aku dan dia sedang menakar rasa
Syukurlah dia tidak tahu, dan kurasa
dia tidak perlu tahu
Kalau aku di sini bukan sedang mengejar mimpi tapi lari,
lari dari mimpi-mimpi burukku
Sejak kekasihku menikahi laki-laki
lain, hidup bagiku seperti tak berwarna
Mimpi-mimpiku pun seperti siluet wajah
yang tak lagi kukenal
“Lihatlah di ufuk timur!”
“Matahari nampak tergesa, matanya
semburatkan jingga di ujung langit.”
“Pendaki, sudah cukup kita
berleha-leha!”
“Aku akan terus ke Gede. Apakah kau ikut?”
Tanya si senyum tipis buyarkan lamunanku
Dari Pangrango terus ke Gede? Sebenarnya apa yang dia cari?
Dan aku... Bagai kerbau yang di cocok hidungnya, ikut
saja
Huh, apa aku ingin merajut mimpi lagi?
“Setiap orang harus punya mimpi,
pendaki!”
“Hanya orang mati yang tidak berani
bermimpi,” kataku bersemangat
“Lantas apa mimpimu?” sebuah tanya yang menampar kesadaranku
“Hahaha... kenapa kau tanyakan itu,
pendaki?”
Aku berusaha
mengalihkan kata.
Buat apa juga aku cerita padanya,
laki-laki yang baru saja kukenal
Biar semua getir ini kutelan sendiri
Aku tak percaya pada laki-laki,
semuanya bajingan!
Kenapa dia diam? Apa pertanyaanku
salah?
Padahal aku kangen dengar tawa
renyahnya
“Tak usahlah kau merajuk terus, kalau
kau tidak punya mimpi ... Hahaha, itu artinya sama. Kita sama-sama tak punya mimpi.
Hahaha...”
Ganti, kini aku yang puas menertawai
si senyum tipis
Sial! Apakah pendaki itu tahu ...
Kalau sebenarnya aku pun sedang lari
... lari menjauhi mimpi?
Matahari sepenggalan naik
Sejengkal lagi, kami tiba di Gede
Dari Pangrango terus ke Gede
“Oh ya, aku terus menyebutmu si
pendaki saja, namaku ... ,” kataku memperkenalkan diri
Si senyum tipis menyebutkan namanya
Tapi aku lebih suka menyebutnya si
senyum tipis
Dari Pangrango terus ke Gede, dan Gede jadi saksi
Ini bukan fiksi atau sekadar ada dalam puisi-puisi roman
Si senyum tipis kini duduk di
pelaminan,
di sampingku
“Hahaha... Apa salah jika kita punya mimpi?” tanya si senyum tipis padaku
Si senyum tipis kini telah menjadi
istriku
Karena kami tak menampik dan ditampik
mimpi
*********
Serpihan Abad, Dari Pangrango Terus Ke Gede
ilustrasi Gambar : lecturer.ukdw.ac.id
Tidak ada komentar:
Posting Komentar