Rabu, 29 Mei 2013

Engkau kah Sungaiku?




( 1 )
Ditepi mata air air mata.
Diresap gerimis Januari.
Digigil cinta berpeluk dingin.

Renungi ...

Lalu ku tulis – sampai kini pun tak kutemukan alasan, untuk apa ku tulis?
Bukankah semua kisah cinta itu sama saja?
Apa beda foto dan klise nya?
Jika hati yang melihat.

Aku hanya ingin hutan dan pegunungan ini membaca.
Pepohonan perdu yang menghijau di tepi sungai terharu mendengar.
Kepodang dan kenari kicaukan senduku.
Angin yang berhembus dari deretan pegunungan menuju lembah, menyusuri dataran-dataran yang lebih rendah hingga ke tepi sungai tempatku duduk mematung, igau-ku masih sayup terdengar menelusup lembut ke kedalaman sungai.

Berharap engkaulah sungaiku.

**********

( 2 )
Masa lalu.
Tangis dan segala yang meledak-ledakkan rasa.
Ingin ku lemparkan saja ke arus sungai.
Agar putaran dan derasnya kan hanyutkan - entah kemana?
Dihantam bebatuan hingga tinggal serpihan kehampaan.

Tapi ...

Ku selami juga sampai ke dasar.
Tak ku temukan kedalamanmu.
Engkau kah sungaiku ?
Atau cuma riak kecipak di tiap jeram dan kelokkan kehidupan.

Terus dan terus ku hanyut juga - entah kemana, ku pasrah.
Ke lautmu?
Ke debur ombak gelombang yang bergulung-gulung?
Atau akhirnya ku terdampar di sebuah comberan.

Masih juga ku bertanya.
Engkau kah comberanku?

**********

( 3 )
Bukan karena ku dikelilingi hujan.
Dan gemericik air yang nyanyikan lagu-lagu kematian.
“Rasa” walau sudah ku kubur dalam serpihan abad, eureka! percikan-percikan ide itu terus saja berlompatan saat bersama atau berpisah denganmu.

Geliat kata yang bergerak acak.
Ku mulai dengan memilih kata yang ingin ku tempa.
Layaknya ku cipta sebuah maha karya.
Kata yang telah ku tempa, ku rangkai menjadi sebuah kalimat.
Ku rangkum aroma rindu yang mengental.
Tentang cinta yang telah lelah seharian bermain-main dan atau dipermainkan alam semesta.
Sekecil apapun kejadian diantara kita adalah sebuah keajaiban.

Kau bilang, “ah itu cuma fiksi!”
Memang akulah fiksi itu.
Karena ia telah meresap menembus kedalam pori-pori misteriku.
Aku hanya ingin tumbuh tertunduk di jiwa lalu luruh.
Dan menemukan diriku bukanlah siapa-siapa.

Aku- tak sengaja di tetaskan embun di ujung-ujung daun.
Sepenggalan matahari naik, aku kan muai lalu musnah.
Tanpa catatan sejarah.
Menguap dilautan sarwa purba.
Ada.
Dan atau tiada.
Ke niscayaan kah?.

*********

Engkaukah sungaiku? – S.A.





Rabu, 22 Mei 2013

Dari Pangrango Terus Ke Gede




Rambut sebahu diikat bandana
Tubuh ringkih melawan angin menahan dingin
Aku ditegur basa-basi,apa yang kau cari?”
Tak peduli, aku terus mendaki
Sesekali lelah, tetap tak menyerah

Ditemani gerimis
Senyum tipis bertambah manis
Sepi sendiri di puncak Pangrango
“Aku? Apa yang kucari?” si senyum tipis malah balik bertanya
       
“Hahaha...,tawa renyahku memecah hening
“Aku tidak tahu! Mungkin sekadar ikuti kata hati,jawabku juga basi
“Dan kau pendaki, apa pula yang kau cari di sini?”
“Sama! Aku pun tidak tahu!” jawabnya acuh
“Apakah kau sedang mengejar mimpi, pendaki?”
“Hah, pandanglah! Apakah aku terlihat sedang mengejar mimpi?” matanya mendelik kesal

Si senyum tipis memandang bulan separuh
Dan yang separuh lagi habis ditelan kawah putih
“Hei pendaki, alangkah indahnya ciptaan Tuhan ini.”
Begitu cara si senyum tipis alihkan kata
Senyum tipisnya pun ciptaan Tuhan yang maha indah, apakah dia tidak menyadari?
       
Cahaya bulan bercermin di diamnya
Aku dan si senyum tipis tak ada sepatah kata
Nikmati alam semesta, atau aku dan dia sedang menakar rasa
Syukurlah dia tidak tahu, dan kurasa dia tidak perlu tahu
Kalau aku di sini bukan sedang mengejar mimpi tapi lari, lari dari mimpi-mimpi burukku
Sejak kekasihku menikahi laki-laki lain, hidup bagiku seperti tak berwarna
Mimpi-mimpiku pun seperti siluet wajah yang tak lagi kukenal

“Lihatlah di ufuk timur!”
“Matahari nampak tergesa, matanya semburatkan jingga di ujung langit.”
“Pendaki, sudah cukup kita berleha-leha!”
“Aku akan terus ke Gede. Apakah kau ikut?”
Tanya si senyum tipis buyarkan lamunanku
Dari Pangrango terus ke Gede? Sebenarnya apa yang dia cari?
Dan aku... Bagai kerbau yang di cocok hidungnya, ikut saja
Huh, apa aku ingin merajut mimpi lagi?

“Setiap orang harus punya mimpi, pendaki!”
“Hanya orang mati yang tidak berani bermimpi,kataku bersemangat
“Lantas apa mimpimu?” sebuah tanya yang menampar kesadaranku
“Hahaha... kenapa kau tanyakan itu, pendaki?”
Aku berusaha mengalihkan kata.
Buat apa juga aku cerita padanya, laki-laki yang baru saja kukenal
Biar semua getir ini kutelan sendiri
Aku tak percaya pada laki-laki, semuanya bajingan!

Kenapa dia diam? Apa pertanyaanku salah?
Padahal aku kangen dengar tawa renyahnya
“Tak usahlah kau merajuk terus, kalau kau tidak punya mimpi ... Hahaha, itu artinya sama. Kita sama-sama tak punya mimpi. Hahaha...”
Ganti, kini aku yang puas menertawai si senyum tipis

Sial! Apakah pendaki itu tahu ...
Kalau sebenarnya aku pun sedang lari ... lari menjauhi mimpi?

Matahari sepenggalan naik
Sejengkal lagi, kami tiba di Gede
Dari Pangrango terus ke Gede
“Oh ya, aku terus menyebutmu si pendaki saja, namaku ... ,kataku memperkenalkan diri
Si senyum tipis menyebutkan namanya
Tapi aku lebih suka menyebutnya si senyum tipis

Dari Pangrango terus ke Gede, dan Gede jadi saksi
Ini bukan fiksi atau sekadar ada dalam puisi-puisi roman
Si senyum tipis kini duduk di pelaminan, di sampingku
 “Hahaha... Apa salah jika kita punya mimpi?” tanya si senyum tipis padaku
Si senyum tipis kini telah menjadi istriku
Karena kami tak menampik dan ditampik mimpi


*********


Serpihan Abad, Dari Pangrango Terus Ke Gede




ilustrasi Gambar : lecturer.ukdw.ac.id


   

Selasa, 14 Mei 2013

Di Secangkir Teh Tarikmu







Setiap hela tarikan napas adalah atmosfir fiksi.
Gerak langkah, gelak tawa dan sepi sedih adalah alur cerita dalam episode hidup.


Tak ingin ku lupa, setiap detail sakit itu.
Seperti tulang dan rangka yang menyanggah tubuh, rasa itulah yang membangun coretanku seolah hidup.
Yang kemudian menikamku kejam.
Lalu aku mati di alinea terakhir yang bercerita tentang pagutan selamat tinggalmu di bibirku.


Sebuah fiksi yang ku tulis sendiri dengan tinta sepi.
Dan aku lebih memilih menyesap larutan senja.
Karena di secangkir teh tarikmu tertinggal luka kenang menganga.


**********

Serpihan Abad, Di Secangkir Teh Tarikmu.

Ilustrasi Gambar :  vidaparalasierranorte.wordpress.com